Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Karina Oh Karina Novel Asyik, Asyik Banget!

 



Haldir merebahkan tubuhnya. Peristiwa di bus itu telah menguras pikirannya. 

Dia bukan cuma kesal dengan cewek tadi. Tapi juga kesal dengan dirinya sendiri. 

Di bus itu, dia salah tingkah. Dia kikuk. Dia mati kutu. Dia dipermalukan. Dia dipecundangi oleh seorang cewek. 

Cewek kalem namun menjengkelkan! Begitu kesan yang dia peroleh. 

“Haldir?” suara ibunya terdengar, “Kau telah makan?”

“Belum. Nanti aja, Bu.” jawabnya. 

“Tumben amat. Biasanya dua piring nasi kamu habiskan.” Ibunya mendekati beliau.

Haldir tiduran, tak peduli. 

“Kau punya dilema ya?” tanya ibunya sambil tersenyum. 

“Ngga, Bu!” Haldir pura-pura membaca. Padahal bukunya terbalik. 

Dengan nada setengah bernyanyi, ibunya berkata, “Jangan kau sembunyikan rasa cintamu…” 

“Ah, Ibu. Bisa aja.” Haldir cengengesan. 

“Ini ibu kau. Ibu tahu banyak hal wacana anak Ibu sendiri.” ujar Ibunya lembut. 

Ibunya mengambil satu dua buku milik Haldir. Mulutnya tak berhenti berkata.

“Eh, Haldir!” kata Ibunya dengan mata agak terbuka. 

“Ya, Bu?” 

“Boleh ngga sih ibu jatuh cinta lagi?” tanya ibunya. Haldir keheranan.

“Kan, ibu sudah punya Ayah? Kita kan keluarga senang? Memangnya ibu mau mirip emak-emak di sinetron? Merusak kebahagiaan rumah tangga sendiri? Demi harta, demi uang. Terus aku mau dibuang ke mana? Haldir ngga mau punya ayah tiri. Dan Nisa juga! Pasti ia ngga suka punya ayah tiri. Ibu pengen cerai gitu….atau gimana?”

“Eh, anak Ibu ceramah kayak pembina upacara.” kata Ibunya sambil melirik mesem. “Ibu kan cuma tanya?”

Haldir masih merengut manja. 

“Tadi pagi…” lanjut ibunya, “Ibu terkenang mantan ibu waktu di sekolah.”

Haldir kesengsem. Wajahnya mulai serius. Apa yang mau ibu ceritakan?

“Terus….?” sahut Haldir lembut.

“Iya, tadi pagi kan Ibu beres-beres rumah. Entah kenapa tiba-tiba saja Ibu terkenang mantan ibu dulu… waktu SMA.

“Tahu ngga kamu? Mantan Ibu itu tampan. Kamu aja kalah!” kata Ibunya tetap sambil mesem. Matanya berbinar-binar dengan sedikit lirikan menarik hati Haldir. 

“Iya.. iya.., Haldir yakin!”

“Kalau dia lagi tersenyum, otomatis memperbesar level kegantengannya. Tapi, bukan itu yang membuat hati Ibu tertarik.”

“Makara, Ibu cinta apanya sama beliau?” tanya Haldir. 

“Dia itu seorang pujangga!”

“Oh! Kirain apa…?” kata Haldir tak kesengsem. “Bukan pujangga, Bu. Paling-paling tukang merayu!”

“Eh, jangan asal-asalan.” sahut Ibunya membela. “Kamu kan belum pernah membaca karyanya, syairnya, puisinya.

“Semua teman-sahabat Ibu yang membaca tulisan dia, otomatis jatuh hati. Dia itu mirip memiliki tangan yang bisa memetik hati kami. 

“Bukan Ibu saja yang jatuh cinta padanya. Teman-teman Ibupun banyak yang jatuh cinta.”

“Iya, namun ngomong-ngomong bagaimana Ibu mampu teringat dengan mantan Ibu yang berpuluh tahun sudah terpisah oleh jarak dan waktu terhampar jauh dari timur hingga ke barat dan kini …”

“...Karena tadi pagi tanpa sengaja Ibu memperoleh sepucuk surat cinta darinya.” sergap  Ibunya terlihat bangga. “Nah, kamu belum pernah tahu kan bagaimana seorang pujangga memberikan isi hatinya?”

Haldir hanya mengangkat bahunya. Ibunya mengambil secarik kertas. Lalu bangun bangun. 

Mimik tampang Ibunya terlihat serius. Seperti seorang seniman yang berakting di atas panggung. Mulailah dia membaca.

Matahari begitu anggun di pagi ini. Cahayanya kemerahan. Menghiasi langit ufuk. Dan perlahan-lahan, awan tipis berserak indah bagai dilempar tangan gaib dari ketinggian. 

Dan angin? Entah darimana asalnya. Tiba-tiba saja menghamburkan kesejukan. Sehingga burung-burung lucu itu bersiul riang. 

Haldir menyimak dengan seksama. Ibunya membaca sembari mondar mandir. Mimiknya begitu serius. 

Sedangkan tangannya kadang ke atas, kadang ke bawah, kadang ke samping. Benar-benar menghayati sepenuh jiwa. 


Alam ini begitu indah. Alam ini memberi berjuta kebahagiaan. 

Namun….

Semua keindahan ini. Semua kebahagiaan ini. Tak akan pernah tepat tanpa kehadiranmu. 

Ya kau!

Matamu berkilau bagaikan telaga. Wajahmu lebih bercahaya daripada rembulan. Bibirmu, bibirmu adalah lambang dari segenap yang berjulukan kemolekan

Kini, aku tak tahu bagaimana lagi caranya menjaga hatiku yang satu-satunya ini…

Apakah akan kuserahkan pada kerinduan? Ataukah kuungkapkan padamu saja? Atau… biarkan aku terbenam dalam kesedihan. 

Haldir terlihat galau. Ibunya terus membaca kata demi kata. Sekali lagi, dengan penghayatan tingkat tinggi. 

Tiba-datang Haldir bangkit, merebut kertas yang digenggam ibunya itu. Ibunya tertawa terkekeh-kekeh. Senang luar biasa. Sepertinya lebih bahagia daripada cewek siang tadi dikala mengalahkannya. 

Wajah Haldir merah padam. 

“Kenapa, sayang?” goda Ibunya. “Ibu kan belum selesai membacanya?” ibunya semakin menarik hati-goda, membuathati Haldir sebal. 

Kenapa aku lalai sekali! Kata Haldir dalam hati. Itu kan tulisan yang besok akan ia berikan pada si Ratih. 

“Sini Ibu baca lagi.” goda Ibunya tak henti-henti. Haldir merobek kertas itu. 

“Eh, ibu salah ya?” kata ibunya, “Ibu kira itu dari mantan Ibu. Eh, ternyata, punya putra ibu yang ahli.” kata Ibunya. “Nisa! Nisa!” katanya lagi berteriak.

“Ya, Bu?”’

“Sini!”

Nisa tiba. 

“Tahu ngga kau?”

“Apa, Bu?”

“Kakakmu ini ternyata seorang pujangga.”

“Masa sih, Bu?” mimik Nisa terlihat terkejut. Tapi Haldir tahu, mimik  itu dibuat-buat. Makin kesal hati Haldir menyaksikan tampang adiknya.

“Iya,” suara ibunya lembut, “rangkaian katanya….”

Nisa sengaja membuka mulutnya, seperti si Panjul yang bengong menyimak penjelasan guru matematika di kelas. 

“Iya, iya, gimana Bu?”

“...indah bagaikan susunan penyair dari abad silam. Pilihan katanya…”

“Iya Bu, gimana?” Nisa makin termenung, membuatsebal Haldir. 

“...Pilihan katanya bagaikan seseorang yang mengembara di belantara kata untuk memilih satu dua kata yang paling indah saja.”

Nisa dan ibunya tertawa terbahak-bahak. Haldir merengut di pojok. Nisa dan ibunya makin bahagia melihat tingkah Haldir. 

Sedangkan Haldir, saya kalah dua kali hari ini! Umpatnya dalam hati. Pertama kalah oleh cewek di bus, sekarang kalah oleh ibunya. Hmh!

Haldir berharap Ibunya segera menuntaskan drama peristiwa itu. Tapi alih-alih selesai, ibunya masih berkata lagi,

“Menurut Ibu sih, itu yakni syair pujangga,” kata ibunya memasang tampang serius, “tapi…”

“Tapi…” kata Nisa mengulang. 

“Tapi kata kakakmu, itu bukan syair pujangga. Melainkan kata-kata perayu…”

Ibunya tertawa lagi. Lebih bangga dari yang sebelumnya. 

“Nisa, jadi mulai kini kau harus hati-hati.” kata Ibunya. Seolah-olah tidak ada kedatangan Haldir di situ. “Jangan sampai termakan rayuan ajal para pujangga karbitan. Ibu sih ngga rela, jikalau putri ibu yang baik hati ini tertipu oleh rayuan lelaki hidung belang.”

“Sudah! Sudah!” kata Haldir ingin sesegera mungkin mengakhiri bencana tanpa darah tersebut. “Aku mau makan dulu!” 

Nisa dan ibunya mengikuti tanpa berhenti tertawa. Itulah yang dinamakan bahagia bukan kepalang. 


***


KALAU KAMU SUKA, DOWNLOAD DAN KOMEN YA! NANTI ADA LANJUTANNYA....


Posting Komentar untuk "Karina Oh Karina Novel Asyik, Asyik Banget!"