Puisi Patah Hati Penuh Kesedihan Goresan Luka
Bukan alasannya angin puting-beliung taufan,
Bukan diterjang ombak gelombang,
Rasa teriris begitu pedih,
Sebab sedang patah hati.
.
.
.
Oleh kieta _ Anna Noor Jannah
Bukan diterjang ombak gelombang,
Rasa teriris begitu pedih,
Sebab sedang patah hati.
.
.
.
Oleh kieta _ Anna Noor Jannah
6. Puisi Patah Hati Galau
Sedang kesedihan tak mengembalikan
Apapun yang pergi.
Aku tak mau mirip
Selamanya. Yang kuingin
Pengganti yang lebih baik.
Kalaulah mesti menangis
Tentu air mataku telah habis.
Hanya kutabahkan hati ini
Semoga kamu bahagia di sana
Dan saya, saya tahu kau bukan yang terbaik untukku.
.
.
Bagaikan sebutir bubuk
Tertiup angin di padang pasir.
Di antara gelora
Panas dari terik mentari.
Hadirmu bagaikan mimpi,
Laksana embun yang membasahi.
Kemarauku akhir,
Berganti musim nan hijau.
Kamu adalah
Anugerah dari Tuhan.
Sebagai jalan tuk
Menarikku kembali dari tepi jurang kehancuran.
.
.
Terukir di sanubari.
Di antara kelopak cinta,
Di antara bunga-bunga
Yang harum aneka aroma.
Ingin kupeluk,
Dengan segenap kasihku,
Agar engkau tahu,
Betapa berharganya dirimu.
.
.
Seperti dahulu.
Ketika kau
Membawa perhatian,
Kepadaku. Setiap waktu.
Ketika kau
Selalu membela,
Memberiku semangat
Dan meyakinkan diriku,
Bahwa saya amat berguna.
Aku ingin mirip dulu,
Kembali mengulang kurun indah,
Saat kamu senantiasa menunjukkan,
Seulas senyuman yang begitu mesra.
.
.
Dengan segenap luka.
Tak hiraukan diriku
Walaupun berurai air mata.
Kau berlalu pergi
Seolah tak ada dongeng.
Tak pedulikan rasa
Walaupun usang kita menata.
Tetapi aku bersyukur,
Pergimu membawa berkah,
Laraku menumbuhkan kekuatan,
Dukaku mempublikasikan keteguhan.
Aku tidaklah sama
Seperti ketika pertama berjumpa.
Untuk apa kamu datang lagi?
Aku mampu lebih senang, sehabis kau lama pergi.
.
.
Kini aku bersyukur,
Berjumpa seseorang
Yang mengajarkan
Agar kepadaNya berserah,
untukNya segala ibadah,
hidup dan matiku,
bukan untuk menderita,
tapi untuk bermunajat seutuh jiwa.
Kau pergi.
Aku telah menata diri,
Untuk hari-hari akhiratku nanti.
.
.
Hingga sukar bangkit.
Terbuang di sudut waktu,
Sedih sendiri. Redup sekali.
Kau yang pernah ada,
Cintanya semakin meredup
Tak lagi menjinjing cahaya bahagia.
Maka biarlah,
Aku kembali pada
Kebahagiaan hakiki
Kepada-Nya saya kembali.
.
Tunggu aku suatu hari nanti. Bukan dengan patah hati.
Mungkin aku
Kembali datang. Bukan untuk bersama.
Hanya berterimakasih,
Karena sudah mendidiku
Menjadi lebih dewasa.
Lebih besar lengan berkuasa. Sebab luka yang pernah kamu hidangkan untukku.
Mencintaimu
Dari kejauhan tak selamanya menyakitkan.
Selalu ada kilasan dari kebahagiaan
Menyelusup membisu-diam dalam hatiku.
Melihatmu cerita,
Bahagia, dan puas dalam kehidupan
Telah menjadi obat dari luka.
Sebab
Inginku bersamamu
Semata-mata supaya kau senang.
.
.
Untuk menyembuhkan luka.
Aku sudah mendapatkan
Bagaimana meredakan perih
Yang dulu terasa begitu pedih.
Cerialah dalam hidupmu,
Bahagiakan orang-orang
Yang menyanyangimu.
Jangan lagi kau toleh
Ke belakang. Apalagi melihat
Kenangan antara saya dan kamu.
Sebab
Aku cemas,
Ada penyesalan
Yang mampu merusakan.
.
.
Agar luka tak bersemayam
Dalam dada.
Jangan biarkan
Kata “andai” memasukinya.
Sebab itu hanya untuk mereka,
Yang ingin berlarut-larut dalam nestapa.
Menyesali bukanlah cara
Untuk mendatangkan bahagia.
Melainkan taburan garam
Di atas perih yang telah ada.
Cobalah bangkit.
Kembali pada Allah, Tuhan semesta.
Karena bersama-Nya
Terhapus segala murung.
.
.
Semua ingatan terkubur
Dalam-dalam. Sebab dia kelam.
Bukalah cakrawala
Yang indah. Menantikan kehadiran
Dari dirimu dan senyumannya.
.
.
dikala semuanya diperjuangkan bersama-sama:
kau senantiasa ada
dengan seulas senyuman
yang begitu indah.
Jenak yang sengsara
Membuatmu setia: menemani
Tanpa lelah beriring dengan doa.
Kaprikornus, apakah sekarang kau sudah lelah?
Ataukah putus asa? Atau kamu kecewa?
Setahuku,
Hari ini, kamu yaitu bukan kau yang dulu.
.
.
Pada dirimu yang berhasil
Mendapatkan hati yang bahagia.
alasannya keikhlasannya demikian jernih,
sehingga mendekaplah padamu - dengan kehangatan - segenap
yang bernama bahagia, rasa tenteram, dan kasih sayang.
Aku sangat iri padamu.
Yang wajahnya memiliki cahaya yang cuma dimiliki orang-orang berjiwa teduh.
.
.
Memberitahukanmu, terbangkanlah jiwamu
Tinggi-tinggi. Lepaskanlah ikatan duniawi.
Kamu tahu,
Tenang itu justru ketika kamu
Tak lagi terikat dengan tarikan duniawi.
.
.
Aku ingin menjadi orang paling bahagia.
Sebab sudah puas
Menuliskan kebaikan sebisaku,
Mengorbankan semampuku,
Dan mendoakan kebaikan untukmu, senantiasa.
Bahwa saya
Mengakui segala salah,
Memperbaikinya tanpa lelah.
Tanpa pembelaan yang mungkin mampu merendahkanmu.
.
.
Tak dibantah, ada jenak kebahagiaan saat senyumanmu datang membayang.
.
.
Di balik amarah,
Aku selalu terpuruk dalam penyesalan.
Amarah itu
Telah membuatk tubuhku ringkih,
Serupa tangkai bau tanah, ambruk tersapu tornado.
Bisakah kamu
Obati beribu luka pada tubuhku?
Mampukah
Menyembuhkan lara pada jiwaku?
Serta menerima
Apa adanya siapa diriku.
.
.
Sabarmu bagai telaga
Tempat tumpahkan segala resahku.
Teduhmu lebih dari gerimis
Mengusir panas dari amarahku.
Dan kasihmu,
Mendekap mesra. Meruntuhkan
Kecemasanku.
Terimakasih
Untuk semua lezat hidup ini.
.
.
Di antara malam-malam sunyi,
Senyumanmu yang paling terlihat
Di mataku.
Mencintaimu, begitu menggemaskan.
Aku teringat, senyum sendiri.
Aku jatuh cinta padanya,
Untuk seseorang yang pernah
Meletakan harapanku padanya,
Untuk seseorang yang pernah,
Membuatku termimpi di masa depan,
Untuk seseorang yang pernah
Mengganggu tidur malamku,
Untuk seseorang yang tak pernah
Tahu berterimakasih.
Aku melepaskanmu. Hari ini.
.
.
Aku pernah menjadikanmu tempat berteduhku.
Aku pernah melepaskan resahku padamu,
Aku pernah menceritakan harapan terindahku,
Menjadikanmu senjaku – waktu terindah.
Menjadikanmu hujanku – daerah tumpah air mata.
Semuanya sudah rampung.
Entah ke mana. Tiba-datang aku mirip kehilanganmu, semestaku.
Dan engkau-pun kehilanganku, salah satu bintang, dari bintang-bintangmu.
Puisi by Echaviva.
.
.
Mengusik telaga rinduku.
Kamu, kubiarkan bermain
Di sela-sela pohon cintaku.
Karena saya tahu,
Hatiku tertawan oleh
Kepolosan senyumanmu.
Tapi itu dulu.
Kini sepertinya
Dunia telah merusak segala rasa;
Semua keindahan jiwa.
Perlahan-lahan
Kamu pergi, sembari
Menaburkan sebilah luka.
.
.
Duduklah.
Dengarkanlah. Aku ingin bicara.
Maafkan – bukannya saya tega. Tapi memang ketegasan lebih saya butuhkan daripada mengalah pada rasa.
Aku mengerti keinginanmu.
Juga penghormatanmu kepadaku.
Tapi –
Waktu tak mungkin berhenti. Ia kan terus mengalir. Jauh sekali. Meninggalkan diriku.
Sedangkan dihadapanku, ada lentera terang yang begitu jelas akan menerangi jalan hidupku.
Cinta –
Aku lebih memilih cinta
Yang mendapatkan restu
Dari Dia Yang Maha Pemurah.
Bukan cinta –
Yang memanggil dosa dan peristiwa.
A k u masih mencintaimu.
Tidak. A k u masih sangat mencintaimu.
Semenjak kau pergi,
Sepi menyergapku.
Sepi itu cuma satu
Dari sekian mengambarkan,
Bahwa cintaku padamu
Tak pernah padam. Hari ini. Esok. Dan entah hingga kapan.
Meskipun pedih.
Kutabahkan hati. Pergimu saya mengetahui.
Bukan untuk menyakitiku,
Tapi saya tahu, kamu berlari
Dari genangan air menuju samudra
Yang bahkan kau tak tau tepinya.
Ya, itulah kebahagiaan yang kamu dapatkan.
Maka jikalau
Kau berbahagia di sana,
Aku tak akan pernah mengusik, sedikitpun jua.
Karena saya bukan sekedar mencintaimu,
Aku juga menghormatimu.
.
.
Adakalanya lebih baik menyelipkannya
di antara aktivitas hari-hari.
Untuk kamu yang di sana.
Jangan pernah tiba lagi.
Atau sekedar mengorek era lalu
Yang telah kukubur jauh-jauh.
Aku telah mencintaimu,
Dan cukup bagiku.
Telah akhir cintaku,
Selesai pula keinginanku.
Tak mungkin lagi
Aku membuka pintu cita-cita,
Pada dirimu, yang membuka pintu kelam.
.
.
Barulah saya tahu pedihnya sembilu.
Semenjak kepergianmu,
Barulah aku tahu artinya rindu.
Dulu – saat hari-hari bersama,
Betapa nikmatnya hidup.
Tawamu yang renyah,
Tatapanmu yang penuh kasih,
Dan cemberutmu yang begitu saya suka.
Aku rindu,
Menikmati pemandangan
Dimana engkau memegang mushaf
Dan menghafal ayat demi ayat.
Aku rindu,
Menikmati jenak
Saat senja datang menikmati
Secangkir kopi. Bersamamu.
Aku rindu.
Kekasih hatiku. Padamu.
.
.
Hati milikku yang satu-satunya ini.
Kau pecahkan rasa
Dari seorang yang lemah,
Tak berdaya, mengharap kemudian kamu bawakan sebongkah kecewa.
Haruskah Begini Selamanya?
Kenapa mesti bersedih,Sedang kesedihan tak mengembalikan
Apapun yang pergi.
Aku tak mau mirip
Selamanya. Yang kuingin
Pengganti yang lebih baik.
Kalaulah mesti menangis
Tentu air mataku telah habis.
Hanya kutabahkan hati ini
Semoga kamu bahagia di sana
Dan saya, saya tahu kau bukan yang terbaik untukku.
.
.
Resah Melanda.
Bagaikan sebutir bubuk
Tertiup angin di padang pasir.
Di antara gelora
Panas dari terik mentari.
Hadirmu bagaikan mimpi,
Laksana embun yang membasahi.
Kemarauku akhir,
Berganti musim nan hijau.
Kamu adalah
Anugerah dari Tuhan.
Sebagai jalan tuk
Menarikku kembali dari tepi jurang kehancuran.
.
.
Terukir Namamu.
Namamu begitu indah,Terukir di sanubari.
Di antara kelopak cinta,
Di antara bunga-bunga
Yang harum aneka aroma.
Ingin kupeluk,
Dengan segenap kasihku,
Agar engkau tahu,
Betapa berharganya dirimu.
.
.
Ingin Kembali.
Aku ingin kembali,Seperti dahulu.
Ketika kau
Membawa perhatian,
Kepadaku. Setiap waktu.
Ketika kau
Selalu membela,
Memberiku semangat
Dan meyakinkan diriku,
Bahwa saya amat berguna.
Aku ingin mirip dulu,
Kembali mengulang kurun indah,
Saat kamu senantiasa menunjukkan,
Seulas senyuman yang begitu mesra.
.
.
Untuk Apa Datang Lagi?
Kau tinggalkan akuDengan segenap luka.
Tak hiraukan diriku
Walaupun berurai air mata.
Kau berlalu pergi
Seolah tak ada dongeng.
Tak pedulikan rasa
Walaupun usang kita menata.
Tetapi aku bersyukur,
Pergimu membawa berkah,
Laraku menumbuhkan kekuatan,
Dukaku mempublikasikan keteguhan.
Aku tidaklah sama
Seperti ketika pertama berjumpa.
Untuk apa kamu datang lagi?
Aku mampu lebih senang, sehabis kau lama pergi.
.
.
Sebaiknya Aku Menata Diri.
JustruKini aku bersyukur,
Berjumpa seseorang
Yang mengajarkan
Agar kepadaNya berserah,
untukNya segala ibadah,
hidup dan matiku,
bukan untuk menderita,
tapi untuk bermunajat seutuh jiwa.
Kau pergi.
Aku telah menata diri,
Untuk hari-hari akhiratku nanti.
.
.
Pernah Jatuh.
Aku pernah jatuhHingga sukar bangkit.
Terbuang di sudut waktu,
Sedih sendiri. Redup sekali.
Kau yang pernah ada,
Cintanya semakin meredup
Tak lagi menjinjing cahaya bahagia.
Maka biarlah,
Aku kembali pada
Kebahagiaan hakiki
Kepada-Nya saya kembali.
.
Tunggu Aku.
Setelah ini – setelah kita tak bareng lagi.Tunggu aku suatu hari nanti. Bukan dengan patah hati.
Mungkin aku
Kembali datang. Bukan untuk bersama.
Hanya berterimakasih,
Karena sudah mendidiku
Menjadi lebih dewasa.
Lebih besar lengan berkuasa. Sebab luka yang pernah kamu hidangkan untukku.
7. Luka Terdalam
Mencintaimu
Dari kejauhan tak selamanya menyakitkan.
Selalu ada kilasan dari kebahagiaan
Menyelusup membisu-diam dalam hatiku.
Melihatmu cerita,
Bahagia, dan puas dalam kehidupan
Telah menjadi obat dari luka.
Sebab
Inginku bersamamu
Semata-mata supaya kau senang.
.
.
Perih.
Aku telah punya caraUntuk menyembuhkan luka.
Aku sudah mendapatkan
Bagaimana meredakan perih
Yang dulu terasa begitu pedih.
Cerialah dalam hidupmu,
Bahagiakan orang-orang
Yang menyanyangimu.
Jangan lagi kau toleh
Ke belakang. Apalagi melihat
Kenangan antara saya dan kamu.
Sebab
Aku cemas,
Ada penyesalan
Yang mampu merusakan.
.
.
Jangan Menangis.
Tetes air mata yakni caraAgar luka tak bersemayam
Dalam dada.
Jangan biarkan
Kata “andai” memasukinya.
Sebab itu hanya untuk mereka,
Yang ingin berlarut-larut dalam nestapa.
Menyesali bukanlah cara
Untuk mendatangkan bahagia.
Melainkan taburan garam
Di atas perih yang telah ada.
Cobalah bangkit.
Kembali pada Allah, Tuhan semesta.
Karena bersama-Nya
Terhapus segala murung.
.
.
Biarkan saja.
Biarkan sajaSemua ingatan terkubur
Dalam-dalam. Sebab dia kelam.
Bukalah cakrawala
Yang indah. Menantikan kehadiran
Dari dirimu dan senyumannya.
.
.
8. Hati Seorang Wanita
Sebelum Berbeda.
Dahulu, saat semuanya belum berganti;dikala semuanya diperjuangkan bersama-sama:
kau senantiasa ada
dengan seulas senyuman
yang begitu indah.
Jenak yang sengsara
Membuatmu setia: menemani
Tanpa lelah beriring dengan doa.
Kaprikornus, apakah sekarang kau sudah lelah?
Ataukah putus asa? Atau kamu kecewa?
Setahuku,
Hari ini, kamu yaitu bukan kau yang dulu.
.
.
Iri.
Aku sangat iriPada dirimu yang berhasil
Mendapatkan hati yang bahagia.
alasannya keikhlasannya demikian jernih,
sehingga mendekaplah padamu - dengan kehangatan - segenap
yang bernama bahagia, rasa tenteram, dan kasih sayang.
Aku sangat iri padamu.
Yang wajahnya memiliki cahaya yang cuma dimiliki orang-orang berjiwa teduh.
.
.
Mimpiku.
Bersamamu, mimpiku hanyalah Ingin kau mengecap luasnya bentangan damai.
Memberitahukanmu, terbangkanlah jiwamu
Tinggi-tinggi. Lepaskanlah ikatan duniawi.
Kamu tahu,
Tenang itu justru ketika kamu
Tak lagi terikat dengan tarikan duniawi.
.
.
Berpisah.
Bila karenanya kau meminta berpisah,Aku ingin menjadi orang paling bahagia.
Sebab sudah puas
Menuliskan kebaikan sebisaku,
Mengorbankan semampuku,
Dan mendoakan kebaikan untukmu, senantiasa.
Bahwa saya
Mengakui segala salah,
Memperbaikinya tanpa lelah.
Tanpa pembelaan yang mungkin mampu merendahkanmu.
.
.
Pengganti.
Meskipun tak bareng , kurun lalumu tak pernah tergantikan.Tak dibantah, ada jenak kebahagiaan saat senyumanmu datang membayang.
.
.
Di balik amarah,
Aku selalu terpuruk dalam penyesalan.
Amarah itu
Telah membuatk tubuhku ringkih,
Serupa tangkai bau tanah, ambruk tersapu tornado.
Bisakah kamu
Obati beribu luka pada tubuhku?
Mampukah
Menyembuhkan lara pada jiwaku?
Serta menerima
Apa adanya siapa diriku.
.
.
Kamu.
Kamu begitu indah bagiku.Sabarmu bagai telaga
Tempat tumpahkan segala resahku.
Teduhmu lebih dari gerimis
Mengusir panas dari amarahku.
Dan kasihmu,
Mendekap mesra. Meruntuhkan
Kecemasanku.
Terimakasih
Untuk semua lezat hidup ini.
.
.
Di antara malam-malam sunyi,
Senyumanmu yang paling terlihat
Di mataku.
Mencintaimu, begitu menggemaskan.
Aku teringat, senyum sendiri.
9. Sakit Hati Diselingkuhi
Melepaskanmu.
Untuk seseorang yang pernahAku jatuh cinta padanya,
Untuk seseorang yang pernah
Meletakan harapanku padanya,
Untuk seseorang yang pernah,
Membuatku termimpi di masa depan,
Untuk seseorang yang pernah
Mengganggu tidur malamku,
Untuk seseorang yang tak pernah
Tahu berterimakasih.
Aku melepaskanmu. Hari ini.
.
.
Aku Pernah.
Aku pernah menjadikanmu impianku,Aku pernah menjadikanmu tempat berteduhku.
Aku pernah melepaskan resahku padamu,
Aku pernah menceritakan harapan terindahku,
Menjadikanmu senjaku – waktu terindah.
Menjadikanmu hujanku – daerah tumpah air mata.
Semuanya sudah rampung.
Entah ke mana. Tiba-datang aku mirip kehilanganmu, semestaku.
Dan engkau-pun kehilanganku, salah satu bintang, dari bintang-bintangmu.
Puisi by Echaviva.
.
.
Kubiarkan.
Kamu, satu-satunya orang yang kubiarkan,Mengusik telaga rinduku.
Kamu, kubiarkan bermain
Di sela-sela pohon cintaku.
Karena saya tahu,
Hatiku tertawan oleh
Kepolosan senyumanmu.
Tapi itu dulu.
Kini sepertinya
Dunia telah merusak segala rasa;
Semua keindahan jiwa.
Perlahan-lahan
Kamu pergi, sembari
Menaburkan sebilah luka.
.
.
Untuk Lelaki Yang Kupatahkan Hatinya.
Untuk laki-laki yang kupatahkan hatinya.Duduklah.
Dengarkanlah. Aku ingin bicara.
Maafkan – bukannya saya tega. Tapi memang ketegasan lebih saya butuhkan daripada mengalah pada rasa.
Aku mengerti keinginanmu.
Juga penghormatanmu kepadaku.
Tapi –
Waktu tak mungkin berhenti. Ia kan terus mengalir. Jauh sekali. Meninggalkan diriku.
Sedangkan dihadapanku, ada lentera terang yang begitu jelas akan menerangi jalan hidupku.
Cinta –
Aku lebih memilih cinta
Yang mendapatkan restu
Dari Dia Yang Maha Pemurah.
Bukan cinta –
Yang memanggil dosa dan peristiwa.
10. Mencintai Yang Telah Pergi
A k u masih mencintaimu.
Tidak. A k u masih sangat mencintaimu.
Semenjak kau pergi,
Sepi menyergapku.
Sepi itu cuma satu
Dari sekian mengambarkan,
Bahwa cintaku padamu
Tak pernah padam. Hari ini. Esok. Dan entah hingga kapan.
Meskipun pedih.
Kutabahkan hati. Pergimu saya mengetahui.
Bukan untuk menyakitiku,
Tapi saya tahu, kamu berlari
Dari genangan air menuju samudra
Yang bahkan kau tak tau tepinya.
Ya, itulah kebahagiaan yang kamu dapatkan.
Maka jikalau
Kau berbahagia di sana,
Aku tak akan pernah mengusik, sedikitpun jua.
Karena saya bukan sekedar mencintaimu,
Aku juga menghormatimu.
.
.
Untukmu Yang Di Sana.
Tidak semua abad lalu itu indah.Adakalanya lebih baik menyelipkannya
di antara aktivitas hari-hari.
Untuk kamu yang di sana.
Jangan pernah tiba lagi.
Atau sekedar mengorek era lalu
Yang telah kukubur jauh-jauh.
Aku telah mencintaimu,
Dan cukup bagiku.
Telah akhir cintaku,
Selesai pula keinginanku.
Tak mungkin lagi
Aku membuka pintu cita-cita,
Pada dirimu, yang membuka pintu kelam.
.
.
Mencintaimu Sepanjang Waktu.
Semenjak kepergianmu,Barulah saya tahu pedihnya sembilu.
Semenjak kepergianmu,
Barulah aku tahu artinya rindu.
Dulu – saat hari-hari bersama,
Betapa nikmatnya hidup.
Tawamu yang renyah,
Tatapanmu yang penuh kasih,
Dan cemberutmu yang begitu saya suka.
Aku rindu,
Menikmati pemandangan
Dimana engkau memegang mushaf
Dan menghafal ayat demi ayat.
Aku rindu,
Menikmati jenak
Saat senja datang menikmati
Secangkir kopi. Bersamamu.
Aku rindu.
Kekasih hatiku. Padamu.
.
.
Kau Patahkan Hati.
Kau patahkanHati milikku yang satu-satunya ini.
Kau pecahkan rasa
Dari seorang yang lemah,
Tak berdaya, mengharap kemudian kamu bawakan sebongkah kecewa.
Posting Komentar untuk "Puisi Patah Hati Penuh Kesedihan Goresan Luka"